Oleh : DEDI ASIKIN
Koran Sakti co.id- Rasa rasanya belakangan Ini, makin sliweran informasi tentang pemekaran wilayah atau pembentukan Daerah Otonomi Baru.
Tapi banyak berita tak bermakna. Kadang dengan judul manipulatif.
Kemarin seorang teman di Presedium pembentukan kabupaten Tasikmalaya Selatan (Presidium Tasela), memposting sebuah video. Judulnya menyebut 9 kabupaten di Jawa Barat siap diresmikan. Sudah disetujui Menteri Dalam Negeri. Tapi ketika saya ikuti sampai akhir, ternyata isinya,baru disusulkan ke Mendagri, bukan sudah disetujui.
Saya tidak paham itu jurnalistik mazhab mana. Sebab selama 57 tahun saya jadi wartawan tidak menemukan rumus pembuatan judul manipulatif, yang tidak koheren antara judul dengan isi. Ada bau bau hoax.
Yang terjadi soal pemekaran wilayah itu menjadi absurd dan simpang siur.
Bahkan berita mengenai aspirasi baru pembentukan DOB itu terus bermunculan . Ada Bandung Timur , Tasik Utara dan beberapa lainnya. Hampir di semua provinsi.
Saya tidak tahu, apakah mereka itu termasuk dalam 325 usulan DOB kabupaten/kot
serta 33 provinsi sampai 2023 ?
Jujur saya sangat terganggu oleh sliweran berita yang tidak berasal dari instansi formal itu. Soalnya saya ikut berjuang sejak tahun 2009 dengan teman teman untuk membentuk kabupaten Tasik Selatan, memisahkan diri dari kabupaten Tasikmalaya.
Upaya itu semata mata demi memperbaiki pelayanan publik dan akselerasi pembangunan. Sekali kali bukan gerakan sparatis ala Papua atau GAM (Aceh) dulu.
Waktu itu (tahun 2009) , dalam kiprah ikut berjuang
untuk DOB kabupaten Tasikmalaya Selatan , saya sempat slotokan ke sana kemari, menemui beberapa tokoh asal Tasela, baik yang masih aktif maupun sudah pensiun. Mencari dukungan, neangan bobotoh.
Saya ketemu pak Suyaman mantan Bupati Pandeglang yang orang Cisempur, pak Endang Suwarna mantan Bupati Lebak olot (Lebak) asal Parungponteng, pak Abdul Wayan mantan Bupati Subang orang Ciwarak, Dr. Edi Saputra ketua PGRI Jawa Barat berasal dari Cikalong.
Pak Ukman Sutaryan tilas wagub urang Cibalong. Saya juga menemui mang Ihin (Solihin GP) gubernur Jawa Barat tahun 1970-1975 di rumahnya Jl. Disitu Bandung utara.
Bahkan saya juga ketemu gubernur yang sedang jeneng Ahmad Heriawan ( kang Aher ).
Pada prinsipnya semua mereka mendukung upaya pemekaran wilayah Tasikmalaya Selatan itu.
Ada wanti wanti mang Ihin yang meski bukan orang Tasela tapi beliau sangat peduli pada Jawa Barat bagian Selatan.
Waktu saya pamit pulang beliau pesan begini :
Dewek mah titip 3 hal
we , kahade :
– leuweung ulah ruksak ,
– cai ulah saat jeung
– rahayst ulah balangsak .
Saya paham bahasa gaul mang Ihin. Dewek , silaing itu biasa.
Makanan para pejabat dan PNS bawahan dimana saja. Termasuk kepada para wartawan.
Tapi beliau itu dikenal sebagai pejabat yang murah bacot murah congcot . Suka marah tapi rajin memberi.
Ngahoak bari ngeupeulan.
Kembali ke persoalan pemekaran wilayah itu, kesalahan waktu itu, kami kurang mendapat dukungan formal. Sangat terkesan bupati Tasikmalaya waktu itu tidak cukup semangat mendukung kami. Seperti daek daek henteu hanteu ( tidak semangat).
Bisa dimaklumi kalau ada rasa takut kehilangan jika kabupaten Tasikmalaya Selatan berdiri. Setidaknya 10 kecamatan akan hengkang. Padahal potensi selatan itu semua orang mafhum, terutama secara ekonomi cukup tinggi.
Sejujurnya saya merasa yaqin bahwa jika dukungan bupati tinggi , Tasela akan lahir menyusul Pangandaran tahun 2012.
Apa boleh buat, nasib baik belum menyertai kami.
Eh malah keburu turun moratorium pemekaran wilayah , oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono tahun 2013.
Moratorium yang punya arti penundaan sementara itu ternyata bagai kesurupan. Masa sementara 11 tahun masih haben nagen ( tetap bertahan) ?. Kebablasan itu mah.
Korbannya ya aspirasi rakyat.
Sampai 2023 , sudah ada 325 usulan DOB dari seluruh Nusantara yang mengendap di laci Mendagri.
Wapres Mafruf Amin yang kerena exoficio menjabat ketua Badan Pertimbangan DOB, menolak usul pembukaan moratorium itu. Padahal usul itu disampaikan bukan oleh ketua RW Ciheras atau Cikawungading di pinggir laut sana , tapi oleh serombongan pimpinan DPD RI dipimpin ketuanya Lanyalla Mataliti.
Kepada para wakil rakyat itu wapres berkilah, dari 205 DOB yang sudah disahkan antara tahun 1999 sampai 2005 , hampir 80% belum mandiri.
Setiap tahun pemerintah masih mengirim transfer kepada mereka.
Selain itu, sekarang, kata pak kiyai pemerintah sedang tongpes alias kantong kempes, tidak punya dana, kaifa imdi
fulus, no money, teu gaduh artos.
Maruf menyebut memang ada perkecualian untuk Papua. Untuk provinsi paling timur itu, moratorium lewat.
Emang berapa besar sih anggaran untuk pembentukan DOB itu.
Relatif memang bergantung situasi dan kondisi. Tapi sebagai gambaran, waktu belum lama ini pemerintah bela belain melanggar moratorium, membentuk 4 provinsi baru di Papua ( Papua Selatan, Tengah, Pegunungan dan Papua Barat) katanya menghabiskan anggaran Rp 6,6 trilyun.
Lalu simak pula ucapan Mendagri (waktu itu) Tjahjo Kumolo (alm). Katanya biaya untuk pembentukan DOB kabupaten/kota sekitar Rp 300 sampai Rp.500 milyar, untuk provinsi antara Rp.500 milyar sampai Rp. 1 ton.
Waduh besar juga ternyata. Bayangkan kalau ada 325 usulan kabupaten kota serta ( kabarnya) 33 provinsi, berapa tumpuk kertas bergambar Sukarno Hatta harus disiapkan. Dari mana pula duit didapat ? Sementara pundi pundi Sri Mulyani Indrawati juga sedang cekak ?
Apalagi baru baru ini hampir semua kementrian dan badan rame rame rame meminta tambah anggaran.
Ketika dihitung hitung jumlahnya lebih dari 100 ton.
Dalam tulisan saya berjudul “Prabowo awas overloads” beberapa waktu lalu, saya gambarkan pemerintahan Prabowo Gibran itu ibarat truk trailer mengangkut 90 ton baja. Ketika lewat pendakian dan belokan ekstrem Sitinjau Aluik (lintas Padang Jambi) , tidak bisa naik, malah mundur dan kecemplung jurang.
Prabowo Gibran itu terlalu banyak program dan janji, terkesan besar pasak dari pada tiang.
Nah memahami kondisi dan perkembangan ini jujur saya sendiri skeptis moratorium itu akan segera dibuka.
Bagi saya pribadi mungkin itu (pembentukan kabupaten Tasikmalaya Selatan) cuma hadir dalam impian.
Walaupun kapan kapan disyahkan, mungkin saya sudah dijemput malaikat Izrail yang katanya sprindiknya suka mendadak.
Bukan menantang, cuma itu kan keyakinan bahwa maut itu pasti akan datang menjemput.
Saya juga tahu diri, usia sudah 85 tahun, super lansia.
Tapi jikapun, usia tak sampai pada saat kabupaten Tasik Selatan terbentuk, lillahi ta’ala, ikhlas pisan. Biarlah untuk anak cucu nanti.
Sekali lagi, jujur saya merasa pencabutan moratorium itu masih perlu waktu, meski Prabowo sudah bilang oke soal itu.
Selain soal minimnya anggaran, secara teknis juga itu bukan pekerjaan simsalabim. Perlu penataan dan koordinasi lintas kementerian bahkan antar Menko dan badan yang baik dan tertata rapi.
Kecuali jika Wapres Gibran Rakabuming Raka yang kerena exoficio, juga menjabat ketua Badan Pertimbangan DOB
, nyelonong boy membuka pintu moratorium itu.
Itu mah namanya, ada jurig ( eh maaf) , ada Gibran tumpak kuda. ***