Oleh : DEDI ASIKIN
Koran Sakti.co.id,Tasikmalaya- Tadi malem tergegas saya bangun tidur,sekitar jam 02.00.
Terkejut rasanya, sepertinya baru mimpi ketemu pak Husen.
Beliau itu kolonel Husen Wangsaatmadja , bupati Tasikmalaya (1966-1974).
Jujur mimpi itu membuat saya kepikiran sejenak. Lalu muncul perasaan jangan jangan. Ada mitos yang berkembang bahwa mimpi ketemu orang orang yang sudah meninggal, pertanda tak lama lagi akan menyusul.
Bukan soal tidak begitu percaya mitos itu, tapi soal mati itu saya sudah lillahi taala. Tahu diri, usia sudah super lansia (85).Tapi soal bertemu dengan pak Husen memang agak jadi tanda tanya dan perasaan aneh. Sebab selama ini tidak pernah berfikir tentang beliau itu.
Saya kenal beliau, tak lama setelah (saya) bertugas sebagai wartawan (Hr.Mandala) di Tasikmalaya (1971).
Biasanya wartawan baru , kalau mau kenal pejabat, ada dua cara.Dengan bikin berita menyanjung, atau sebaliknya berita tekdung. Tembak dulu, urusan belakangan . Ada dua kemungkinan. Bermusuhan atau berbaikan. Yang saya lakukan cara yang kedua tembak dulu. Kebetulan ada kasus yang sedang trending. Soal pemotretan massal penduduk untuk KTP. Semua penduduk dewasa sampai aki aki nini nini , ngaleut ka Bale Desa/Kelurahan untuk difoto. Persis kaya sekarang, ngantri ambil BLT atau pembagian beras Jokowi.
Kasusnya itu pemborong KTP ditunjuk langsung, tidak ditender. Pengusahanya China dari Jakarta. Ada isu bupati dapat mobil Fiat (1300) baru dari sang pengusaha.
Itu berita saya buat dan turun di Mandala akhir akhir 1971.
Tiba tiba datang Mayor Sukardjo Kepala Kantor Sospol, mengundang saya bertemu Bupati.
Kami ketemu di pendopo , (rumah jabatan bupati).
Ternyata tidak marah beliau.
Tersenyum saja malah, seraya bilang,
“yiy mah ari koran hayang payu teh”. Sok duduk.
Cuma itu doang yang dia omon.
Selanjutnya ngobrol soal lain lain. Soal jalan yang rusak berat soal panen yang kurang berhasil kerena serangan wereng dll.
Setelah itu hubungan kami jadi baik. Terkesan sangat baik.
Saya dan kang Edi Padma (wartawan Sinar Harapan) , sering diajak kalau beliau ke daerah. Saya sering dijemput supirnya pak Syarif. Kami berlima saya, kang Edi , ajudan Kusnadi supir dan pak Bupati di mobil (dinas) Landrover . Pulang dari daerah biasanya sore atau malam, kami dibagi oleh oleh , pemberian dari camat atau kades.
Ada pengalaman menarik yang tak terlupakan. Suatu hari beliau agak nepsong kepada beberapa wartawan. Pasalnya ada berita irigasi Denuh Culamega jebol.
Maka diajaklah semua wartawan ke sana. Mobil dengan susah payah kerena jalan rusak parah, hanya bisa sampai Darawati. Dari sana harus jalan kaki sekitar 35 km.
Beliau maklum tentara, tampak kuat kuat saja. Kami para wartawan, alamak merangkak rangkak.
Hampir waktu isya kami sampai di sana. Dan terpaksa nginap. Satpol PP mendirikan tenda yang rupanya sudah disiapkan dengan membawa peralatan.
Ternyata itu berita cuma digajahkan. Dibuat seru. Yang ada cuma rembesan air, yang sudah diatasi aparat desa dan kecamatan.
Sekitar awal 1972 beberapa koran memberitakan dua hal serius.
Soal jalan yang rusak parah dan aspirasi rakyat selatan yang mengharap adanya irigasi.
Jalan rusak itu nyaris tidak bisa dilalui kendaraan kecil jenis sedan. Kendaraan besar juga, waktu tempuhnya lambat sekali. Dari kota Tasik ke Cipatujah dipantai selatan bisa sehari penuh. Berangkat pagi dari Tasik sampai sana menjelang magrib. Padahal dalam keadaaan normal (jalan bagus) hanya butuh waktu 3 jam saja.
Kerena itu termasuk jalan provinsi, maka perbaikannya dilakukan pemerintah provinsi. Dan perbaikan itu berjalan cukup lama.
Soal irigasi sawah di kecamatan Cipatujah dan Bantarkalong nyaris cuma satu kali tanam (padi) setahun, kerena tadah hujan,
Bupati Husen segera merancang pembuatan irigasi Padawaras dan mengusulkan ke Departemen PU/ Ditjen Pengairan. Tentu saja melalui gubernur Jawa Barat.
Saya dan kang Edi Padma pernah diajak ke Jakarta menemui Dirjen Pengairan (Ir.Suratin) , urusan irigasi Padawaras itu. Irigasi itu menyatukan potensi air Cilangla dan Cijalu akan mengairi sekitar 6 ribu hektar sawah di Kecamatan Cipatujah dan Bantarkalong.
Pak Husen sendiri tidak mengalami pelaksanaan proyek itu kerena beliau mengakhiri jabatan bupati Tasik tahun 1974 , sedang proyek itu baru mulai dibangun tahun 1985 dan selesai 1992.
Selanjutnya beliau mutasi jadi Residen (Pembantu Gubernur) Priangan di Garut. Di sana menjabat 4 tahun, kemudian menjabat wali kota Bandung (1978-1983).
Saya bertemu terakhir , usai beliau berhenti sebagai walikota Bandung.
Saya ke rumahnya di Jalan Surapati no.3.
Salah satu hal yang saya tanya adalah soal power sindrom. Trauma jabatan. Yaitu kondisi kejiwaan seseorang setelah tidak menjabat dan kehilangan kekuasaan.
Beliau, sambil tersenyum bilang :
Ya adalah lah Ded.
Bayangkan saja setelah sekitar 40 tahun, mulai di tentara sampai pangkat kolonel terus jabatan sipil sekitar 20 tahun, tiba tiba harus menyendiri.
Padahal, besok hari menjelang berhenti, saya masih menerima 16 tamu di kantor. Masih dikelilingi ajudan, sekpri yang selalu , bilang siap. Staf dan para pembantu lainya.
Kiatnya , antara lain, ya mendekatkan diri kepada yang diatas, banyak ngariung dengan keluarga. Saya juga masih telepon dengan teman teman yang masih menjabat atau sudah sama sama pensiun.
Saya cuma terkejut dan ikut berduka dan berdoa ketika terkabarkan beliau wafat. Hanya sekitar 6 bulan setelah saya kerumahnya.
Semoga beliau tenang di sana. Berada di taman surga yang sejuk. Yang mengalir sungai sungai dibawahnya. Khaalidiinaa fihaa abadaa Kekal selamanya.
(QS Al Bayyinah 8).***