Oleh :
Adinda Putri Nabiilah SH C.IJ C.PW
Koran Sakti.co.id, Bangka Belitung – Vonis terhadap tiga mantan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (Kadis ESDM) Provinsi Bangka Belitung dalam kasus korupsi pengelolaan timah menjadi sorotan tajam. Ketiga terdakwa, yakni Suranto Wibowo, Amir Syahbana, dan Rusbani, hanya divonis 2 hingga 4 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat.
Putusan ini memunculkan polemik karena dinilai terlalu ringan, terutama jika dibandingkan dengan besarnya dampak yang ditimbulkan oleh praktik korupsi dalam sektor tambang timah.
Korupsi Tambang: Masalah Sistemik yang Menyentuh Hajat Hidup Orang Banyak
Tambang timah memiliki peran strategis dalam ekonomi nasional, khususnya di Bangka Belitung, sebagai salah satu penghasil timah terbesar di dunia. Namun, pengelolaan sektor ini kerap menjadi sarang praktik korupsi yang merugikan negara.
Dalam kasus ini, kerugian negara ditaksir mencapai Rp 300 triliun, angka yang fantastis dan seharusnya menjadi dasar hukuman berat bagi para pelaku.
Seperti yang disampaikan Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, vonis 2 hingga 4 tahun bagi ketiga mantan Kadis ESDM terkesan tidak lazim dan tidak adil.
Hukuman ini jauh dari rasa keadilan publik mengingat korupsi yang terjadi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga penghancuran sumber daya alam yang menjadi hak masyarakat luas.
Analisis Putusan Hakim: Mengapa Terlihat Tidak Berpihak pada Pemberantasan Korupsi?
Dalam pertimbangannya, hakim menyebut bahwa tindakan para terdakwa tidak mendukung program pemberantasan korupsi dan mengakibatkan kerugian negara yang besar. Ironisnya, meskipun fakta-fakta memberatkan ini jelas, vonis yang dijatuhkan justru ringan.
Sebagai perbandingan, Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo. UU No. 20 Tahun 2001 memberikan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara.
Hakim tampaknya lebih banyak menitikberatkan pada hal-hal yang meringankan, seperti sikap sopan terdakwa di pengadilan dan status mereka sebagai kepala keluarga.
Sementara itu, dampak sosial dan ekonomi dari korupsi yang mereka lakukan diabaikan. Hal ini menunjukkan adanya bias dalam pengambilan keputusan yang kurang memperhatikan tujuan utama pemberantasan korupsi, yakni memberikan efek jera dan melindungi kepentingan masyarakat.
Banding sebagai Upaya Memperbaiki Ketidakadilan
Boyamin Saiman mendesak Kejaksaan Agung untuk mengajukan banding atas putusan ini. Langkah tersebut penting, mengingat vonis ringan seperti ini dapat menjadi preseden buruk dalam penanganan kasus korupsi di masa mendatang.
Dalam sistem hukum pidana, banding adalah salah satu mekanisme untuk memastikan bahwa keadilan tidak hanya ditegakkan, tetapi juga dirasakan oleh masyarakat.
Kewajiban jaksa untuk mengajukan banding juga sejalan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Dalam negara hukum, prinsip keadilan harus menjadi dasar dalam setiap keputusan, termasuk dalam perkara pidana korupsi.
Implikasi pada Penegakan Hukum dan Kepercayaan Publik
Vonis ringan dalam kasus korupsi tambang timah ini berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Ketika vonis yang dijatuhkan tidak mencerminkan rasa keadilan, masyarakat dapat kehilangan keyakinan bahwa hukum benar-benar dijalankan untuk melindungi kepentingan umum.
Selain itu, vonis ini juga menjadi tamparan bagi upaya pemberantasan korupsi yang selama ini digalakkan.
Indonesia telah memiliki berbagai instrumen hukum untuk memberantas korupsi, mulai dari UU Tipikor hingga pembentukan lembaga khusus seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun, semua upaya tersebut akan sia-sia jika aparat penegak hukum, termasuk hakim, tidak bersikap tegas terhadap para koruptor.
Rekomendasi: Membangun Sistem Hukum yang Tegas dan Adil
Untuk mencegah terulangnya kasus serupa, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan:
1. Meningkatkan Pengawasan dalam Proses Peradilan
Perlu ada pengawasan lebih ketat terhadap kinerja hakim dalam menangani perkara korupsi. Hal ini dapat dilakukan melalui Komisi Yudisial (KY), yang memiliki kewenangan untuk mengawasi perilaku hakim.
2. Penyelarasan Putusan dengan Kerugian Negara
Dalam kasus dengan kerugian negara yang besar, vonis harus mencerminkan beratnya dampak yang ditimbulkan. Hakim harus berpedoman pada nilai-nilai keadilan yang melindungi masyarakat luas, bukan hanya terdakwa.
3. Mendorong Pendidikan Antikorupsi
Untuk jangka panjang, pendidikan antikorupsi harus menjadi bagian dari kurikulum di semua jenjang pendidikan. Hal ini penting untuk membentuk generasi yang lebih sadar akan pentingnya integritas dalam pengelolaan sumber daya publik.
4. Reformasi Sistem Peradilan Pidana
Sistem peradilan pidana harus direformasi agar lebih transparan dan akuntabel. Salah satu caranya adalah dengan membuka akses masyarakat untuk memantau proses persidangan melalui teknologi digital.
Kasus vonis ringan terhadap tiga mantan Kadis ESDM Bangka Belitung dalam perkara korupsi tambang timah adalah cerminan buram dari penegakan hukum di Indonesia.
Vonis ini tidak hanya mengabaikan rasa keadilan masyarakat, tetapi juga menunjukkan kurangnya keberpihakan hakim pada upaya pemberantasan korupsi.
Korupsi, terutama yang melibatkan sektor strategis seperti tambang, adalah kejahatan yang merugikan tidak hanya secara finansial tetapi juga merusak keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, penanganannya membutuhkan sikap tegas dari semua pihak, mulai dari jaksa, hakim, hingga masyarakat sebagai pengawas proses hukum.
Mengingat dampak besar yang ditimbulkan, langkah banding yang didorong oleh MAKI adalah pilihan yang tepat untuk memperbaiki ketidakadilan ini.
Jika tidak, vonis ringan seperti ini hanya akan menjadi catatan buruk dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia.
Catatan Redaksi :
Penulis : Adinda Putri Nabiilah SH.,C.IJ.,C.PW editor KBO Babel
Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan atau keberatan dalam penyajian artikel, opini atau pun pemberitaan tersebut diatas, Anda dapat mengirimkan artikel dan atau berita berisi sanggahan atau koreksi kepada redaksi media kami, sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (11) dan ayat (12) undang-undang No 40 tahun 1999 tentang Pers.
Saran dan masukan atas tulisan ini silahkan disampaikan ke redaksi di nomor WA kami 0812 7814 265 & 0821 1227 4004 atau email redaksi yang tertera di box Redaksi.