Oleh :DEDI ASIKIN
Koran Sakti.co.id- Saya duduk termangut manggut habis membaca tulisan sahabat saya Dr.Ridhazia dengan judul “Tergiur Sepak Bola”.
Jujur lah saya juga tergiur giur.
Tak sangka buburuh najong bola bliter, buruhna bisa milieur lieur kitu.
Sepak bola, sudah jadi sebuah profesi sekarang, tampaknya. Bisa jadi ladang mencari cuan. Bukan lagi cuma hobi dan hiburan.
Jujur pula saya tidak senang nonton bola.
Dan teman saya Cecep Juanda yang gila bola malah nyebut saya aki aki kuper.
Jujur pula, ini terjadi kerena sejak kecil saya tidak bisa main bola.
Di kampung dulu jika teman teman bermain bola di sawah yang kering kerena tadah hujan, saya cuman duduk duduk dipematang, menonton.
Paling paling diminta nungguin pakaikan yang mereka tumpuk dipinggir sawah.
Sudah gede , dewasa, bahkan tua, saya masih tetap tak bisa main, nonton juga jarang.
Tapi anehnya saya sempat jadi pemimpin kesebelasan sepak bola. Cuma klub kantor. Teman teman mendaulat saya menjadi ketua club.
Awalnya saya ketua Serikat Sekerja PTT cabang Kantor Sentral Giro E di Bandung tahun 1970 an dan teman teman yang suka main membentuk klub itu.
Klub sepak bola itu sering diundang bertanding di perkebunan perkebunan. Yang masih saya ingat perkebunan Dayeuh manggung di Garut Selatan dan Mira Mare, Patrol, Banjarnegara Cisugih dll.
Pernah sekali dipaksa main , cuma jadi keepper. Itu di Mitra Batik Trusmi Cirebon.
Jujur juga sebagai orang yang suka nulis , saya tidak pernah menulis tentang sepak bola.
Saya ini nulis secara jeneralis saja. Sekatajongna, kata Boys Iskandar. Pernah terbesit dihati ingin jadi penulis specialis, misalnya ekonomi, agama atau juga olahraga. Tapi tak kesampaian.
Ibarat tukang loak , jual , jual beli segala jenis barang. Kadang kadang inspirasinya datang dari mimpi. Malam malam bangun dan terus ngadekul, nulis.
Saya juga tak paham luka liku sepak bola.
Ketika Bardosono , ketua umum PSSI mengeluarkan wacana sepak bola Pancasila, saya juga tak paham, yang gimana itu sepak bola Pancasila.
Yang saya tahu sepak bola itu serudukan berebut dan menendang bola agar bisa masuk di gul lawan.
Pun begitu ketika ada istilah juara bersama. Kok bisa juara bareng bareng begitu ?. Yang ada kepala yang pusing. Mau nulis ya gak bisa kerena itu tàdi, ngak ngerti apa yang harus ditulis.
Bahwa rekan wartawan yang jadi dosen , Ridhazia mengaku tergiur sepak bola gara gara nilai kontraknya milyar bahkan di tingkat global ada yang menyentuh trilyun , saya ikut tergiur.
Malah , tak hanya sepak bola yang membuat air liur saya menetes kerena tergiur.
Saya juga tergiur nasib baik para politisi.
Sekarang ini pendapatan anggota Dewan juga bikin lieur. Gaji dan berbagai tunjangan mencapai puluhan juta. Terus ada lagi uang reses dan aspirasi.
Nilainya milieur pula.
Padahal dulu saya ditawari (Sekber Golkar) jadi anggota Dewan. Kalau mau insyaallah ditangan tu barang. Soalnya yang ditunjuk mengganti saya (Ir. Rukman) , dua periode dia duduk.
Saya menolak kerena waktu itu baru memulai jadi wartawan . Tahun 1967 saya jadi wartawan Harian Kami. Koran mahasiwa yang terbit di Jakarta dan lagi gencar membongkar kebobrokan orde lama dan menurunkan presiden Soekarno.
Jika Ridhazia tergiur oleh sepak bola, saya malah oleh dua hal, sepak bola, dan politisi. Itu g wajar dan manusiawi.
Tapi , itu semua sudah jadi decision of Allah, mau apalagi. Islam agama yang saya anut meyakini semua yang terjadi dalam kehidupan manusia adalah by disign. Semua dirancang (planed) by Allah.
Kita tidak boleh menentang KEPUTUSANNYA. Ingat Al Baqarah 39, Al Maidah 44 dan Al Mujaaidah 5.
Tabik dan taqdim untuk pak dosen. ***