Oleh: DEDI ASIKIN
Koran Sakti.co.id- Beberapa waktu lalu, seorang teman terlambat sholat ashar.
Dia tergopoh melaksanakan perintah Allah itu pada jam 17.30. Ketika disoal , enak saja dia jawab. Tibatan henteu ?
Saya tergoda untuk menganoglogikan kilah teman itu dengan Keppres no 23 tahun 2024 tentang Hari Desa Nasional yang baru dibuat ketika presiden ke 7 itu hampir minggat. Pun saya belum menelisik pertimbangan apa menetapkan hari Desa Nasional itu tanggal 15 Januari.
Padahal dalam nawacita yang dibuat di awal periode pertama jabatannya (2014) salah satu butirnya , membangun Indonesia dari desa.
Itu sudah benar sekali. Tapi desa memang sudah termarjinalkan jauh sebelumnya.
Beberapa kali saya menulis tentang pemerintah kita, lupa jati diri. Lupa bahwa penduduk negeri ini masih banyak petani dan tinggal di pedesaan.
Memang ketika presiden Suharto mau melaksanakan pembangunan di desa belum ada infrastruktur, seperti jalan, jembatan dan listrik.
Maka yang terjadi pembangunan terutama industri berada di perkotaan.
Pemuda pemuda desa , akhirnya hengkang dari desa ke kota. Urban namanya. Yang terjadi kata BPS 62% penduduk yang tinggal di desa berusia 45 tahun keatas.
Sudah aki aki, sudah out of product.
Belakangan juga berkembang anekdot, hampir tidak ada anak petani yang mau jadi petani.
Alih alih ingin jadi petani Mukti , yang ada petani tinggal daki.
Paradigma itu kalau tidak dilakukan upaya serius akan menjadi ancaman kedepan.
Menurut hasil liti Bappenas , tahun 2045 struktur kependudukan akan tergambar penduduk kota akan menjadi 62% dan sisanya yang kecil dan aki aki semua ,yang masih tinggal di desa.
Coba tanya cak Imin.
Ketua umum PKB yang sekarang jadi pak Menko , pasti balik bertanya,
La , apa gak bahaya ta ?.
Akibat salah membangun itu terjadi masalah kependudukan di kota. Salah satunya kemacetan. Dan jangan salah, kemacetan itu menjadi kendala pertumbuhan ekonomi.
Menurut pakar transfortasi ITB Prof. Dr. Ir Ofzan Z Tamim, efek dari urbanisasi yang tak terkendali menyebabkan timbulnya masalah kependudukan di kota. Pemukiman kumuh, kejahatan meningkat dan kemacetan tidak bisa dihindari.
Kemacetan di jalan bisa menimbulkan berbagai hal negatif. Biaya produksi naik, transaksi terlambat. Kemacetan itu kata prof Ofzan bisa disebabkan karena tidak seimbangnya panjang jalan dengan jumlah luas wilayah. Idealnya panjang jalan itu 30% dari luas wilayah. Panjang jalan arteri di Indonesia masih kurang dari 100 ribu km. Bandingkan dengan Malaysia. Disana itu , dengan wilayah lebih kecil dari Indonesia, panjang jalannya sudah di atas 100 ribu km. Jangan coba pula , membandingkan dengan China yang sudah memiliki jalan lebih dari 1 juta km.
Masih kata Prof Ofzan , akibat kemacetan, bahan bakar yang hangus terbakar sia sia , di kota Bandung saja mencapai Rp.4,-milyar sehari.
Kondisi ini tentu berkaitan dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi kita.
Jalan yang terbaik memang pembangunan ekonomi kita harus kembali ke jati diri negeri.
Sebagai negara yang kadung dikenal sebagai negara agro maritim, maka yang harus dilakukan adalah membangun sektor pertanian dan perikanan (kelautan).
Petani dan nelayan itu identiknya dengan desa pedesaan. Jadi membangun desa inklusif atau sekali mendayung dua pulau terlampaui.
Pemberdayaan desa akan identik dengan pemberdayaan petani.
Yang harus dilakukan adalah memfasilitasi masyarakat desa berkembang secara ekonomi.
Kelihatannya, selain terlambat menoleh desa , mungkin ada strategi yang salah.
Kenyataanya sudah 5 tahun dana desa digulirkan, kondisinya masih begitu begitu juga.
Bertani itu rugi melulu. Harga jual produksi pluktuatif.
Sawan kuya , bisa naik tak bisa turun. Harga jual nyaris dikuasai tengkulak.
Sulit mendapatkan pupuk. Apalagi belakangan muncul pupuk palsu.
Sekarang saatnya membuktikan bahwa pemerintah benar peduli kepada keadaan desa. Peduli desa insyaallah berarti peduli kepada petani. Pun demikian dengan nelayan. Mereka dua komunitas yang salama ini bareng bareng termarjinalkan.
Ini bukan kerja enteng entengan. Bukan soal menbalik telapak tangan. Ini kerja keras yang harus didampingi dengan hati dan nurani.
Selama ini , ada sikap mental yang sudah membudaya. Anak petani ogah jadi petani, kalau nasibnya hanya seperti orang tuanya, petani tinggal daki.
Atau nelayan yang kulitnya makin kelam.
Pemerintah harus siapkan infra struktur pertanian.
Sudah saatnya beralih teknologi dari teknologi kebo ke alsintan.
Saatnya pemerintah memfasilitasi pemilihan lahan yang cocok, penggunaan pupuk yang tepat.
Bimbingan pasar yang berkelanjutan dan harga tidak sawan kuya. Mudah naik tak bisa turun.
Selamat memperingati (Perdana) hari Desa Nasional.***