Oleh : DEDI ASIKIN
Koran Sakti.co.id- Salah satu kelemahan kita dalam bidang pertanian, katanya belum diterapkan secara menyeluruh teknologi masa kini. Orang bilang teknologi modern.
Sebut saja traktor, mesin panen, mesin pipil , pemotong rumput, alat sortir, drone sprayer dll.
Jangan bilang Amerika atau China sebagai pembanding. Sebut saja Thailand dan Vietnam di Asia Tenggara. Asteng mah lembur urang keneh. Jangan lupa ,kerajaan Majapahit era Hayam Wuruk dan mahapatih Gajah Mada, pernah menguasai Brunei Darusalam, sebagian Philipina, Malaysia dan Singapur ( dulu namanya Tumasek)
Padahal mereka Thailand dan Vietnam, dulu tahun 1984, pernah berguru kepada Indonesia dalam hal swasembada beras.
Eh sekarang kita klayapan beli beras ke sana.
Padahal yang berani deklarasi sebagai negeri agro maritim, kita.
Tak ada cara, kita harus segera alih teknologi pertanian.
Tinggalkan cangkul dan garpu, lisung batu, dan kebo bajak.
Itu mah peralatan jadul, titinggal nenek moyang.
Tapi sesungguhnya masalah kita, hingga bagai tikus kelaparan di lumbung padi, tak hanya soal alat yang masih bertahan pada generasi kebo.
Ada hal hal lain :
– Permodalan, petani kita sering kelimpungan. Tak punya modal untuk beli bibit, pupuk dan upah pekerja. Akses ke Bank ribet. Petani kita juga tidak punya akses ke dana desa yang tiap tahun digelontorkan APBN sekitar Rp 71 trilyun. Yang terjadi banyak petani kejebak rentenir.
– Harga jual yang fluktuatif. Sering turun jarang naik.
– Biaya produksi tinggi. Petani banyak rugi. Yang selalu untung distributor.
– Regenerasi nyaris mandeg. Anak petani tak berminat jadi petani. Takut hanya dapat warisan daki.Anak nelayan takut hanya kulit yang makin kelam.
Mereka lari urban ke kota.
Yang masih tinggal di desa aki aki dan nini. Kata BPS 61% penduduk desa berusia diatas 45 tahun.
– Korban alih fungsi lahan. Banyak petani yang luas lahan rata rata hanya 0,2 hektar harus kehilangan garapan . Mereka sering kali jadi korban Proyek .
Strategi Negara made in Joko Widodo. Atau pembebasan lahan untuk pembanguna negara. Ada beberapa UU dan PP yang mengatur hal itu. Ujung ujungnya bisa terjadi perampasan.
– Dibantai cuaca yang tidak menentu, kekeringan atau kebanjiran dan tertimbun longsor.
– Kurang ilmu pengetahuan. Penyuluh lapangan belum merata, banyak petani tak paham pemilihan bibit, pupuk dan olah lahan. Kebanyakan mereka bekerja secara tradisi dan naluri.
Ini semua menjadi tantangan dan tugas pemerintah. Kehadiran menteri desa haruslah berarti lahirnya pemerintah dalam membawa petani ke jati diri negeri, agro maritim.
Itu amanah dari banyak pengamat ekonomi. Salah satunya dari (alm) Prof Faizal Basri. ***