Oleh : DEDI ASIKIN
Koran Sakti.co.id- Dalam beberapa tulisan yang lalu, saya menganalogikan partai politik yang tidak punya kursi di DPR/DPRD sebagai bank EMOK.
Itu bank keliling yang mendatangi para debitor langsung ke rumah rumah. Biasanya mereka duduk (aneprok) di suatu tempat seperti diteras atau bahkan di pos ronda. Tak jarang pula di rumah RT atau RW.
Belum terdengar ada yang bertemu di masjid. Tapi MENEKETEHE.
Biasanya lebih banyak emak emak.
Bank keliling itu sesungguhnya rentenir. Bunganya sampai 20%. Mereka sebenarnya kaki tangan dari bank bank resmi dan mengambil keuntungan dari selisih bunga yang cukup tinggi.
Banyak masyarakat yang terjerat.
Bupati Garut sempat menganggarkan APBD Rp.10 milyar untuk melunasi utang masyarakat Garut yang terjerat utang kepada bank emok.
Masyarakat memang lebih enak pinjam ke bank emok. Tak banyak unak unik urusan dan tanpa jaminan. Berapapun pinjaman langsung creng.
Emok itu bahasa sunda yang arti cara duduk perempuan dengan kedua kaki dilipat ke belakang.
Yang repot perempuan gembrot ( gemuk), bisa gepeng tu kaki ketindih badan.
Tapi bank emok maju pesat. Konsekwensinya, makin dia maju, makin banyak masyarakat yang terjerat riba.
Mereka itu ( bank emok ) ada beberapa yang berijin sebagai Bank Perkreditan Rakyat, tapi kebanyakan ilegal.
OJK sudah melarang mereka beroperasi. Tapi makin dilarang makin berkembang.
Akibatnya banyak bank terutama BPR yang kalah bertanding.
Katanya tahun 2024 ada 16 bank yang bangkrut dan tutup kantor. Padahal mendirikan sebuah bank itu bukan perkara ecek ecek. Uang tunai saja paling sedikit harus ada 3 trilyun.Belum kantor dan infrastruktur lainya. Juga sumber daya manusia.
Sudah jalan malah rontok, disodok bank emok.***