Oleh: DEDI ASIKIN
Koran Sakti.co.id- Tentu saja saya ikut gembira, ketika tersiar kabar para komisioner (baru) Komisi Informasi Daerah Jawa Barat dilantik Pj Gubernur Bey Mahmudin. Ada wartawan lagi didalamnya.
Keterbukaan Informasi Publik itu pada kenyataanya lebih banyak dirasakan para wartawan dari pada masyarakat biasa. Padahal sesungguhnya UU itu dibuat untuk seluruh rakyat penghuni NKRI ini.
Tak hanya saya yang ikut gembira, teman teman wartawan lainpun begitu adanya. Saya tangkap hati mereka dari respon yang sliweran sana sini.
Sesungguhnya, dulu saya merasa UU alot go publiknya.
Terlalu lama dalam perdebatan di legislatif. Menurut literasi yang ada, RUU Keterbukaan Informasi Publik itu dikirim Pemerintah ke Senayan sudah sejak tahun 2002. Tetapi kenapa baru disyahkan 30 April 2008 ?
6 tahun RUU ngendon di DPR. Wallahu alam sabab musababnya. Tapi itu RUU yang paling alot.
Setelah itupun lamban pula dalam sosialisasi. Jangankan ke publik, sampai di Badan Publikpun terkesan lemot.
Padahal tenggat waktu dari pengundangan (2008) sampai berlaku efektif, diberikan 2 tahun. Biasanya UU lain cukup 1 tahun.
Mungkin untuk memberi waktu pemerintah menyiapkan Komisi dan Badan Publik serta perangkatnya sampai ke daerah daerah.
Badan Publik itu sebuah nomen klatur baru yaitu pejabat yang bertugas mengelola informasi di semua kementerian/lembaga dari pusat sampai daerah, bahkan sampai Desa dan Sekolah. Pun demikian DPR , pusat sampai Kabupaten/kota.
Ada pengalaman saya terkait sosialisasi UU itu.
Tahun 2013 saya berkesempatan memberi materi tentang UU itu dalam sebuah seminar di Ciamis. Seminar itu diselenggarakan PWI kabupaten Ciamis dalam rangka Hari Pers Nasional bekerja sama dengan Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama kabupaten Ciamis.
Apa yang saya temui ?. Ternyata 90 % dari 180 peserta yang terdiri dari para kepala sekolah ( SD dan SMP) serta kepala madrasah (MI dan Mts) belum paham bahkan belum tahu UU No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik) itu.
Memang cukup mengherankan. Padahal hak publik untuk mengakses informasi itu sudah diisyaratkan di hulu konstitusi kita , Undang Undang Dasar 1945.
Dalam buku besar NKRI ( UUD 1945), pasal 28F disebutkan pada prinsipnya semua orang berhak, berkomunikasi, menerima informasi, mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial, mencari, memperoleh, memilki, mengolah dan meneruskan/ menyampaikan informasi.
Lalu ada UU No 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN. Kemudian dibuat pula Peraturan Pemerintah No.69 tahun 1999 tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan bebas dari KKN.
Jadi sebenarnya harus tidak ada soal dengan pembuatan UU 14 tahun 2008 itu. Kok sampai ngendon 6 tahun dalam pembatasan. Kok lambat sosialisasi sampai pejabat yang harusnya jadi Badan Publik . Kok masih mereka yang planga plongo, kaya orang Surakarta pertama datang ke Jakarta.
Informasi itu sekarang sudah terbuka lewat pintu UU No 14 tahun 2008.
Menurut sifatnya informasi itu ada 3 katagori :
– Informasi yang wajib disampaikan Badan Publik, meski tidak diminta. Itu menyangkut hajat hidup orang banyak seperti bencana alam atau ketertiban umum,
– Informasi yang harus disiapkan dan diberikan atas permintaan dan
– Informasi yang boleh tidak disampaikan meski diminta. Itu yang disebut Informasi yang dikecualikan yaitu yang apabila informasi itu diberikan, dapat menghambat proses hukum, menggangu kepentingan umum, menghambat ketahanan ekonomi nasional dan mengganggu pertahanan dan keamaman Nasional.
Meski terlambat , sekarang kita masih layak bersyukur. Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Kita pakai filosofi orang sholat asyar pada jam 17.30.
Dari pada teu sholat pisan, hayoh.***